Sabtu, 27 April 2013


KEPUTUSAN DALAM KETIDAKPASTIAN


Bagi sebagian orang, membahas tentang risiko ketidakpastian selalu identik dengan sesuatu yang bernuansa negatif dan merugikan sehingga harus dihindari dan oleh karenanya kalau memungkinkan bisa direduksi sampai pada level terkecil.  Ketidakpastian seolah menjadi ancaman bagi individu atau kelompok karena dianggap mengganggu proses pencapaian kinerja organisasional. Padahal, kalau disimak lebih jauh, ketidakpastian justru dapat menjadi stimulan untuk memunculkan pemikiran kreatif yang pada gilirannya dapat mendorong langkah inovatif bagi suatu organisasi.

 Coba simak kalau orang bertanya:”Apa yang mendorong para pebisnis memutuskan tetap menjalankan bisnisnya di Indonesia walaupun negeri ini seringkali dinilai memiliki tingkat risiko dan ketidakpastian cukup tinggi dibanding negara-negara berkembang lainnya?”  Bisa ditebak jawabannya, yaitu bahwa ketidakpastian itu adalah “kembang gula atau pemanis” yang menarik dan bisa mendatangkan “semut-semut” bisnis.  Argumen itu sepertinya hanya relevan bagi mereka yang menyukai tantangan dan berani mengambil risiko atas suatu pilihan atau keputusan. Bagaimana pula bagi mereka yang mempunyai preferensi terhadap comfort zone dan menyukai status quo dalam dalam berbisnis?

Mengelola ketidakpastian memang sangat dekat dengan risiko yang juga sering dipersepsikan secara sempit sebagai akibat negatif dari suatu pilihan atau keputusan.  Bagi para pebisnis yang menyukai tantangan, maka risiko yang dikalkulasi (calculated risk) adalah bagian dari suatu bisnis yang juga perlu mendapat porsi pengelolaan tersendiri. Tujuannya jelas, yaitu mendapatkan kekuatan (power) yang besar untuk mengendalikan sumberdaya produktif.  Logikanya, dalam kondisi keterbatasan sumberdaya, maka seseorang akan cenderung mengambil keputusan berdasar pada tingkat kejelasan sumberdaya dan kestabilan dalam perolehannya.  Ini berarti, para pebisnis yang memiliki kecenderungan perilaku sebagai risk taker akan selalu mencoba menemukan sumberdaya alternatif bagi bisnisnya.  Sebaliknya, bagi pebisnis yang masuk dalam kategori risk avoider atau risk averter, maka sangat sulit baginya untuk menerima kenyataan bahwa risiko yang dikalkulasi sebenarnya adalah bagian dari proses bisnis yang harus dikendalikannya. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah ada kompromi diantara keduanya. Jika kompromi harus dilakukan, bagaimana memasukkan aspek-aspek organisasional ke dalam pengelolaan suatu risiko ketidakpastian dalam bisnis.

~>>Kompromi dalam Mengelola Risiko<<~
Pembicaraan mengenai risiko dapat berkembang luas mulai dari tingkatan fungsi keuangan sampai pada lingkup kegiatan yang tidak secara langsung terkait dengan urusan keuangan.  Sebagai ilustrasi, para pebisnis seringkali dihadapkan pada pilihan yang cukup berat karena menghadapi kenyataan adanya perputaran manajerial (managerial turnover) yang tinggi dalam lingkup pekerjaannya. Suatu fenomena yang seringkali dijumpai pada industri jasa keuangan dan perbankan di negeri ini.  Bahkan ada anekdot yang menyatakan bahwa kalau seseorang mampu bertahan berkerja di suatu perusahaan jasa keuangan lebih dari 10 tahun pada perusahaan yang sama, maka orang itu memiliki karakter kuat melebihi manusia langka yang pernah ada di dunia. Sudah barang tentu, anekdot semacam ini tidak berlaku umum dan dapat terterapkan untuk semua bentuk pekerjaan dan/atau industri.

Itu sebabnya, untuk mempertahankan sosok atau figur yang memiliki kapasitas manajerial dan mumpuni dalam mengampu pekerjaan tertentu, suatu institusi kadangkala harus mengemasnya dengan ragam bentuk gimmick atau iming-iming untuk menjadikannya menarik sebagai tempat berkarya. Tidak jarang dijumpai bentuk insentif yang ditawarkan merupakan paket remunerasi yang mengkombinasi antara pemenuhan kebutuhan dasar dan aktualisasi diri. Suatu hal yang nampaknya sulit dilakukan, tetapi mulai banyak diterapkan.  Dalam kaitan dengan hal tersebut, ada satu pelajaran menarik yang dapat diambil dari hasil studinya Carson et.al (2006) yang berjudul “Uncertainty, opportunism, and governance: The effect of volatility and ambiguity on formal and relational contracting”, Academy of Management Journal, Vol. 49., No.5 yaitu bahwa mengelola ketidakpastian sumberdaya manusia dalam bisnis dapat dilakukan dengan memodifikasi pola kontraktual dalam suatu ikatan kelembagaan. Hipotesis yang dimunculkan dalam studi tersebut adalah bahwa pola hubungan kontraktual dalam suatu bisnis akan cenderung lebih kuat terhadap desakan faktor volatitas dibanding ambiguitas. Sebaliknya, pola kerja yang berbasis kontrak formal akan lebih tahan terhadap desakan faktor ambiguitas (ambiguity) dibanding volatilitas (volatility).  Sudah barang tentu, kedua pola hubungan masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, dan dalam banyak hal tidak saling menggantikan. Dengan demikian, kecermatan dalam mengamati situasi akan menentukan tingkatan risiko ketidakpastian pola kerja yang dipilih.

Pada lingkup yang lebih luas, mengelola risiko ketidakpastian dalam organisasi bisnis membutuhkan dukungan infrastruktur kelembagaan yang bisa diandalkan dan mampu untuk menopang kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diharapkan dalam organisasi bisnis. Memang, pengalihan risiko finansial secara terbatas dapat dialihkan kepada perusahaan-perusahaan asuransi atau bentuk lembaga penjaminan lainnya. Situasi berkembangnya bisnis asuransi di Indonesia memang mungkin bisa menjadi salah satu indikator adanya kesadaran baru di kalangan masyarakat dalam mengelola risiko ketidakpastian.  Namun, risiko lain yang terkait dengan kegiatan yang sifatnya operasional atau situasi yang mengarah pada perubahan kondisi mental, sosial, dan politikal nampaknya  masih membutuhkan upaya integratif sehingga mampu mengkombinasi kemanfaatan moneter yang dijanjikan dengan bentuk lain yang juga bernilai tinggi.  Pengelolaan bisnis dengan menggunakan pola portfolio mungkin bisa menjadi satu alternatif.  Dengan cara itu, bisa saja terjadi bentuk kegiatan bisnis dikemas dalam format aliansi untuk menghadapi kemungkinan pemunculan faktor ketidakpastian di dalam suatu sektor atau industri tertentu.

Sebagai penutup, apapun bentuk keputusan yang akan diambil oleh para pebisnis, rasionalitas terbatas yang dimiliki mengharuskan seseorang untuk memilih dari segala bentuk opsi yang menawarkan solusi terhadap situasi ketidakpastian. Itu pula mengapa untuk memilih lembaga penjaminan mana yang dinilai memiliki kredibilitas tinggi memang tidaklah selalu mudah. Penggunaan indikator ganda (multiple indicator) bisa saja dilakukan untuk bisa menentukan peringkat yang diharapkan peringkat itu mampu menggambarkan kredibilitas yang ditawarkan.  Lebih dari itu, proses pemilihan yang dilakukan dengan berdasar pada ketentuan-ketentuan yang mengarah pada praktik bisnis yang baik (good governance) barangkali merupakan hal yang bisa dilakukan untuk menghindari jebakan risiko ketidakpastian dalam berbisnis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar